
Pastinya kalian pernah melihat pengemis atau pengamen jalanan yang  sedang menggendong anak? Gak peduli hujan maupun sengatan matahari,  mereka terus berkativitas menjalanankan profesi “pengemisnya”. Sebuah  kabar yang sebetulnya sedikit tidak asing lagi namun tergolong aneh tapi  nyata, tau ga ternyata sebagian anak yang dibawa para pengemis itu  adalah hasil sewaan. Itupun disewa dengan harga murah.
Saya pernah membaca sebuah majalah namanya Sekar sekitar bulan Maret  2011 yang lalu. Dalam majalah tersebut diceritakan apa yang tim  Investigasi majalah tersebut dapatkan.
Yang namanya di kota besar, apalagi di Jakarta, mungkin hal ini sudah  gak asing banget di hadapan kalian. Namun kenapa seolah-olah ini menjadi  rahasia umum yang sebenarnya bisa dibongkar, tapi tidak bisa di  hancurkan. Kenapa?
Menurut informasi yang saya terima, di Jakarta ada 3 tempat yang  dijadikan markas para penyewa bayi ini. Ketiga tempat tersebut adalah  Depok, Jatinegara dan Tanah Abang. Mereka (para penyewa) hidup di  gang-gang kecil padat penduduk. Jika dilihat sekilas, tidak terlihat  sedikit pun aktivitas pengemis dan pengamen jalanan. Mereka berbaur  seperti masyarakat normal lainnya. Tapi jangan salah, walaupun tinggal  di gang-gang sempit, hampir di setiap rumah terdapat televisi, radio,  kulkas, hingga sepeda motor.
Tempat pertama yang di datangi tim investigasi adalah Tanah Abang. Di  salah satu sudut kawasan padat penduduk ini ada tempat tinggal para  pengemis dari daerah Jombang, Jawa Timur. Dari cerita Lia, sebutlah  namanya demikian, di tempat tinggalnya sering terjadi transaksi sewa  menyewa bayi. Biasanya penyewaan dilakukan oleh orang-orang yang sudah  saling kenal. “Kalau tidak saling kenal, sulit dilakukan,” kata  perempuan yang sudah bertahun-tahun tinggal di tempat itu.
Penyewaan bayi biasanya diperlukan untuk mengemis, ngamen, dan joki 3 in  1. Menurut Lia, bila beraktivitas sambil menggendong bayi, pendapatan  pengemis atau pengamen jalanan akan lebih tinggi. “Soalnya masyarakat  kasihan melihat mereka,” lanjut Lia.
Berhubung si penyewa dan yang menyewakan saling kenal, harga sewa pun  tidak terlalu mahal. Untuk satu hari (dari pagi sampai sore) tarif sewa  bayi berkisar antara Rp. 15 ribu sampai Rp. 25 ribu, tergantung tujuan  bayi disewa. Bila si penyewa akan menggunakan bayi untuk keperluan  ngamen, harga sewa bayi Rp. 25 ribu. Berbeda bila bayi itu digunakan  untuk joki 3 in 1, harganya lebih murah.
* Tarif Sewa Bayi : Rp. 15.000 – Rp. 25.000
* Tarif Sewa Bayi Untuk Ngamen : Rp. 25.000
* Tarif Sewa Bayi Untuk Joki : Rp. 15.000
Perbedaan harga muncul karena pendapatan mengamen dan joki 3 in 1 jauh  berbeda. Untuk joki 3 in 1, waktunya dibatasi sesuai dengan jadwal 3 in 1  di Jakarta, yakni pukul 07.00 sampai 10.00 dan pukul 17.00 sampai  19.00. Dengan keterbatasan waktu itu pula pendapatan si joki tidak  terlalu banyak.
Untuk sekali ngejoki (sebutan aktivitas joki 3 in 1), mereka hanya  mendapat Rp. 15 ribu. Dalam satu hari, rata-rata para joki ini mendapat  dua kali ngejoki. Artinya, pendapatan mereka sekitar Rp. 30 ribu per  hari. Uang itu belum termasuk membayar sewa bayi Rp. 15 ribu. Jadi bisa  dikatakan secara kasar, para penyewa itu tidak termasuk kategori untung.
Berbeda dengan pengamen yang bisa mendapat Rp.50 ribu sampai Rp 100 ribu  dalam satu hari. Karena itu pula, uang sewa bayi lebih mahal, mencapai  Rp.25 ribu per hari. Harga itu belum termasuk makan si bayi selama  beroperasi. Biasanya para penyewa menyiapkan susu dalam botol besar  untuk mengganjal perut si bayi sehari penuh. Kata Lia, cara ini cukup  menghemat uang. Penyewa tidak perlu lagi membeli makanan bayi yang  harganya cukup mahal. Selain mahal, memberi makan pun membuat repot si  penyewa.
Harga-harga yang disebutkan di atas belum termasuk denda yang  diberlakukan oleh orang tua si bayi. Denda dikenakan bila si penyewa  tidak mengembalikan bayi tepat waktu. Dendanya yaitu sekitar Rp.5 ribu  sampai Rp. 10 ribu. Awalnya denda ini tak ada. Berhubung beberapa  penyewa bayi selalu pulang malam dan telat memulangkan si bayi, orang  tuanya pun protes. Karena itulah dibuat sistem denda.
Dari cerita Lia, bayi-bayi yang disewakan di daerah Bongkaran, Tanah  Abang adalah anak-anak para Penjaja Seks Komersil (PSK). Biasanya tak  jelas siapa ayah kandung anak-anak malang tersebut. Ditambah lagi, para  PSK itu memang tak menginginkan anak. Mereka merasa tak siap bila harus  mengurusi anak setiap hari. “Anak dianggap akan mengganggu aktivitas  mereka saat mencari pelanggan baru,” ceritanya.
Alhasil, ketika ada orang yang menyewa bayi mereka, para PSK itu dengan  senang hati menyerahkan begitu saja. Mayoritas para penyewa berusia 45  tahun ke atas. Ketika masih muda, mereka juga bekerja sebagai PSK di  sekitar tempat itu. Berhubung usia semakin tua dan pelanggan tak mau  lagi dengan mereka, satu per satu beralih pekerjaan menjadi pengamen dan  joki 3 in 1.
Sementara itu, para perempuan yang masih muda memilih untuk bekerja  “buka musik”. Istilah “buka musik” merupakan jargon di daerah itu yang  berarti “buka kamar” atau melayani lelaki hidung belang. Istilah ini  muncul karena setiap tempat di situ selalu memutar lagu-lagu dengan  volume tinggi. “Dari situlah muncul istilah “buka musik,” lanjut Lia.
Lalu bagaimana bila si bayi menangis saat disewa?
Memang banyak bayi yang “berontak” saat disewa oleh orang lain. Mungkin  ia tahu kalau si penyewa bukanlah orang tua kandungnya. Yang lebih  mengerikan, beberapa penyewa malah menggunakan obat tidur untuk  menenangkan si bayi. Dengan begini bayi itu akan patuh dan diam saja  selama berada di bawah terik matahari dan guyuran hujan.
Beberapa penyewa menggunakan obat CTM untuk menidurkan bayi. Seperti  yang kita ketahui, CTM adalah obat alergi untuk mengurangi gatal pada  kulit. Obat ini menimbulkan kantuk. Efek samping inilah yang  dimanfaatkan oleh para penyewa bayi.
Untuk membedakan mana bayi sewaan dan mana yang tidak, bisa dilihat dari  perlakuan si orang tua kepada bayi itu. Bila dibiarkan terkena sinar  matahari dan guyuran hujan, sudah bisa dipastikan bayi itu sewaan.  Selain itu, bayi sewaan jarang disusui oleh orang yang menggendongnya.
Untuk penyewaan bayi di daerah Jatinegara. Hak yang terjadi tidak jauh  beda dengan yang terjadi di Tanah Abang, tapi hanya saja harga sewanya  yang lebih mahal, yaitu Rp. 30 ribu per hari. Oleh Tim Investigasi  sempat berbincang-bincang dengan orang tua si pemilik bayi. Sebut saja  namanya U. Perempuan berusia 35 tahun yang sudah 5 tahun menyewakan  bayinya kepada para tetangga sekitar rumah.
Ia juga sering disebut “pabrik anak” oleh teman-temannya. Pasalnya,  setiap tahun U pasti mengandung dan melahirkan. “Kini anak saya sudah 8  orang,” kata U sambil tersenyum. U mengaku awalnya ia tidak punya niat  untuk menyewakan anaknya kepada orang lain.
10 tahun lalu, ia dan suami tinggal di Cirebon. Di sana suaminya bekerja  sebagai buruh serabutan. Hasilnya tak seberapa, paling banyak sehari  sang suami mendapatkan Rp. 10 ribu. Suatu hari si suami mengajak U untuk  pindah ke Jakarta. “Kabarnya di sana penghasilan lebih bagus,” cerita  sang suami saat itu. Perempuan ini menurut saja apa kata suami. Ia tak  tahu, di Jakarta mau tinggal di mana dan bekerja apa. Yang ia tahu,  suaminya sudah dapat kenalan di ibu kota dan siap bekerja.
Ternyata tidak demikian. Sesampainya di Jakarta, mereka tinggal di  pemukiman padat penduduk di daerah Jatinegara. Belakangan ia baru tahu  kalau daerah itu adalah tempat tinggal para pengemis. Yang membuat ia  semakin kaget, ternyata suaminya juga ikut-ikutan menjadi pengemis.  Melihat kenyataan itu, U sempat meminta pulang ke kampung, namun sang  suami tak mau. “Terpaksa saya menerima saja,” katanya.
Seiring waktu, U mulai menikmati pekerjaan suaminya. Pasalnya, hasil  yang didapat oleh suaminya terbilang tinggi. Bayangkan saja, dalam satu  hari pendapatan suaminya bisa mencapai Rp. 100 ribu. Bila dirata-rata  dalam sebulan, pendapatan mereka bisa mencapai Rp. 3 juta. Jumlah yang  luar biasa, bukan?