Drama berupa teks untuk dibaca, sedangkan sandiwara boleh pakai teks boleh tidak, tetapi harus dimainkan. Dengan demikian, sandiwara memerlukan pemain, panggung, dan penonton.
Contoh sandiwara tidak perlu dicari ke zaman Dardanela, Dr Abu Hanifah, atau Usmar Ismail, cukup di Indonesia kini.
Konon, etimologi sandiwara adalah sandi (tersamar) dan warah (ajaran) karena itu berfungsi untuk mendidik dan memberi pencerahan melalui hiburan. Kini, sandiwara sudah jarang, kebanyakan sudah berubah menjadi film atau sinetron. Para pemainnya pun bukan lagi ”anak panggung” atau dalam istilah populer dulu ”anak wayang,” tetapi bintang film dan bintang sinetron.
Rata-rata bintang ini kaya, berpenampilan menarik, dan terkenal. Kehidupan mereka serba gemerlap. Karena itu, mereka dinamakan selebriti, yaitu orang- orang terkenal, selalu menarik perhatian, dan selalu berpenampilan mewah.
Kendati sandiwara dalam arti sebenarnya mempunyai tujuan luhur, kebanyakan anak wayangnya dianggap tidak bermoral. Mereka suka pelesir, judi, minum, dan banyak berbuat maksiat lain.
Dengan demikian, harus dipisahkan antara fungsi sandiwara dan kehidupan anak wayangnya. Fungsi sandiwara luhur, tetapi menurut pandangan umum, para anak wayangnya tidak berbudi luhur. Apapun yang terjadi pada anak wayang dan selebriti, mereka mau tidak mau dituntut mempunyai kemampuan akting, kemampuan berpura-pura.
Kini, para pemain tak lain adalah para pembesar politik di negeri ini, panggung sandiwaranya adalah tanah air Indonesia dan penontonnya adalah rakyat jelata. Pemain, sekali lagi, harus pandai akting dan hidup mewah. Mereka harus pandai berpura-pura, katakanlah, berpura-pura sedih dan menangis, padahal dalam hatinya bersorak-sorak gembira. Tentu saja mereka harus hidup bergaya flamboyan, senang pelesir, termasuk ke luar negeri, dengan alasan yang dapat dibuat-buat.
Simaklah
Coba simak pemandangan saat Presiden Soeharto hampir jatuh akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Bagai pemain sandiwara, sejumlah tokoh dan konglomerat menyumbangkan emas serta batu mulia kepada pemerintah. Dalihnya, untuk menyejahterakan rakyat karena saat itu krisis ekonomi benar-benar sedang mengganas. Di depan media, akting mereka meyakinkan sehingga penonton, khususnya yang bodoh atau terlalu baik hati, menganggap mereka adalah manusia berjiwa agung, tanpa mempertanyakan dari mana asal- usul harta karun itu.
Jangan heran saat itu kebanyakan rakyat bodoh sebab jika tak bodoh atau pura-pura bodoh, keselamatannya bisa terancam. Tengok pula kisah seorang wanita yang saat itu tampak sombong karena berani mencalonkan diri menjadi calon presiden. Dia terlalu berani, berlagak tidak bodoh. Akibatnya, nasibnya menjadi jelek, begitu pula nasib suaminya.
Setelah masyarakat katanya memasuki proses/demokrasi sejak Reformasi 1998, para pemimpin mendadak menjadi pemain-pemain yang aktingnya bagus. Simak lagak para politikus yang merasa berjasa sebab tanpa mereka, pikirnya, reformasi tak akan jalan. Lihatlah cara mereka berbicara, terutama jika disorot kamera. Wajah mereka bisa sekonyong-konyong sedih, sementara tangan mereka menunjuk ke sana-kemari, diangkat, dan diturunkan, diputar-putar, persis para selebriti di televisi. Mereka adalah para pemain sandiwara yang bagus.
Kini, ada lagi serangkaian sandiwara, khususnya dipertontonkan oleh para wakil rakyat. Mereka menerima uang dengan senang hati. Namun, setelah rakyat melalui pers, tanpa melalui DPR, mengkritik mereka dan menganggap mereka menerima uang haram dengan jalan menyusahkan rakyat, dengan lagak pahlawan kesiangan uang haram itu diserahkan kembali.
Di hadapan kamera, mereka berlagak seperti orang suci. Bicara mereka seolah- olah ingin memperjuangkan kepentingan rakyat. Tentu saja rakyat bertanya, ”Apakah kalau tidak diprotes, mereka juga akan berlagak suci?”
Pedagang kelontong
Dalam sejarah Paket Oktober 1988 (Pakto), sebagaimana dikisahkan oleh Kwik Kian Gie (Hura, David Sudah Tertangkap!, Kompas, 23/2001), permainan sandiwara juga amat merajalela. Barangsiapa mempunyai modal Rp 10 miliar, demikian menurut Pakto, dapat mendirikan bank. Untuk ukuran saat itu, Rp 10 miliar sebetulnya tidak banyak, apalagi latar belakang pemilik modal tidak dipertimbangkan. Akibatnya, kata Kwik Kian Gie, para pedagang kelontong pun mendirikan bank. Dasar mereka tidak mempunyai maksud baik, dana masyarakat lewat bank mereka pun digunakan untuk aneka keperluan tidak layak, lalu mereka bangkrut, dan pemerintah harus menutup kebangkrutan mereka, tentu dengan uang rakyat.
Dari sinilah muncul kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang konon menimbulkan kerugian amat besar bagi negara. Lalu, muncul sertifikat release and discharge dan bebaslah para pedagang kelontong itu setelah memenuhi syarat-syarat relatif ringan dibandingkan kerugian negara sebagai akibat ulah mereka. Permainan sandiwara para pedagang kelontong ini tentu saja amat diperlukan.
David Nusa Wijaya, bos sebuah bank yang amat merugikan negara, sebaliknya, tak mau berbuat manis-manis. Ia dihukum, melarikan diri, dan ditangkap. Maka, kata Kwik Kian Gie, ”Oh, David, seandainya dikau dulu rajin datang waktu dipanggil, lantas perilakumu sopan dan tutur bahasanya santun... sambil mesam-mesem mesum... engkau pasti akan bebas.” Salahnya, saat itu David tidak main sandiwara.
Pamer
Harap ingat, pamer bukan hanya semata pamer harta, tetapi juga pamer ilmu. Kalau tidak percaya, lihatlah itu para pemimpin, khususnya di daerah-daerah. Ternyata, bagai dalam permainan sulap, mereka sekonyong-konyong mempunyai banyak gelar akademik.
Para pemimpin itu, dengan demikian, benar-benar punya ilmu yang mantap. Bayangkan, dalam waktu singkat mereka punya gelar SH, MSi, MM, dan entah apa lagi, pokoknya banyak dan tampak hebat. Dalam konteks sandiwara, apa guna gelar jika tidak untuk dipamerkan?
Akibatnya, banyak pemimpin pandai, negara bobrok, karena kepandaian dalam arti sebenarnya tidak diperlukan, sementara yang mutlak diperlukan hanya kepandaian bersandiwara.
Budi Darma, Sastrawan
Sumber: Kompas Cyber Media