ADA kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.
Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?
Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.
Pendidikan berbasis karakter
Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.
Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.
Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.
Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.
Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.
Belajar dan mengajar dengan hati
Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.
Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.
Komaruddin Hidayat Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI) Madania
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm