Oleh : Wilson Walery Wenas
Masalah energi tampaknya akan tetap menjadi topik yang hangat sepanjang peradaban umat manusia. Upaya mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil masih tetap ramai dibicarakan. Ada beberapa energi alam sebagai energi alternatif yang bersih, tidak berpolusi, aman dan dengan persediaan yang tidak terbatas. Di antaranya adalah energi surya, angin, gelombang dan perbedaan suhu air laut. Di masa yang akan datang, dengan adanya kebutuhan energi yang makin besar, penggunaan sumber energi listrik yang beragam tampaknya tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pengkajian terhadap berbagai sumber energi baru tidak akan pernah menjadi langkah yang sia-sia. Tulisan ini akan membahas perkembangan teknologi sel surya dewasa ini sebagai komponen utama untuk pembangkit listrik tenaga matahari dan prospeknya di masa depan dengan penekanan pada material pembentukan sel surya itu sendiri.
Fotovoltaik dan permasalahannya
Teknologi fotovoltaik yang mengkonversi langsung cahaya matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan divais semikonduktor yang disebut sel surya (solar cells) merupakan salah satu pilihan yang menarik. Apalagi buat Indonesia yang terletak di katulistiwa dan terdiri dari banyak kepuluan dan pegunungan yang menyulitkan penyebaran jaringan transmisi listrik. Secara umum listrik tenaga surya ini sudah dapat diterima sebagai sumber energi alternatif. Persoalan yang ada sekarang adalah harganya yang masih mahal dibandingkan dengan listrik yang dibangkitkan dengan sumber energi lain, sehingga penggunaannya sekarang terbatas hanya dalam skala kecil seperti pada barang-barang elektronik dan juga digunakan sebagai pembangkit listrik pada daerah-daerah yang masih sulit dijangkau oleh jaringan listrik. Usaha untuk menurunkan harga panel sel surya dapat dilakukan dengan menaikkan efisiensi (konversi) dari sel tersebut yaitu parameter yang menyatakan prosentase dari besarnya energi listrik yang bisa dihasilkan oleh sel surya dibandingkan dengan besarnya energi cahaya yang diterima. Usaha lain adalah perlunya kampanye penggunaan secara massal dari sel surya ini untuk dapat meningkatkan volume produksinya. Dengan menaikkan efisiensi dari sel surya, disamping menurunkan harga pembuatannya, juga akan memperkecil luas permukaan modulnya untuk daya keluaran yang sama, sehingga lebih menghemat tempat.
Teknologi Silikon dan GaAs
Pada prinsipnya, sel surya adalah identik dengan piranti semikonduktor dioda. Hanya saja dewasa ini strukturnya menjadi sedikit lebih rumit karena perancangannya yang lebih cermat untuk meningkatkan efisiensinya. Untuk penggunaan secara luas dalam bentuk arus bolak-balik, masih diperlukan peralatan tambahan seperti inventer, baterei penyimpanan dan lain-lain. Kemajuan dari penelitian akan material semikonduktor sebagai bahan inti sel surya, telah menjadi faktor kunci bagi pengembangan teknologi ini. Dalam teknologi sel surya, terdapat berbagai pilihan penggunaan material intinya. Kristal tunggal silikon sebagai pioner dari sel surya memang masih menjadi pilihan sekarang karena teknologinya yang sudah mapan sehingga bisa mencapai efisiensi lebih dari 20 % untuk skala riset. Sedangkan modul/panel sel surya kristal silikon yang sudah diproduksi berefisiensi sekitar 12 %. Namun demikian, penggunaan material ini dalam bentuk lempengan (waver) masih digolongkan mahal dan juga volume produksi lempeng silikon tidak dapat mencukupi kebutuhan pasar bila terjadi penggunaan sel surya ini secara massal. Sehingga untuk penggunaan secara besar-besaran harus dilakukan uasaha untuk mempertipis lapisan silikonnya dari ketebalan sekarang yang mencapai ratusan mikron.
Material yang berifisiensi tinggi lainnya adalah dari paduan golongan unsur III-V GaAs dan InP. Walaupun secara teoritik efisiensinya bisa mencapai 35%, tetapi sulitnya menumbuhkan kristal tunggal berkualitas tinggi dari material-material di atas menyebabkan harganya tergolong sangat mahal sehingga penggunaannya masih terbatas, terutama hanya untuk penggunaan di angkasa luar. Ini ditunjang lagi oleh sifat material tersebut yang tahan terhadap radiasi-radiasi di angkasa luar. Material golongan ini memang tidak dipertimbangkan untuk digunakan secara massal. Usaha yang sedang diupayakan sekarang untuk menekan sedikit harga pembuatannya adalah menumbuhkan lapisan GaAs di atas lempeng silikon. Namun, penggabungan dari dua material dengan struktur berbeda ini menyebabkan timbulnya strain pada lapisan antarmukanya sehingga menurunkan efisiensi.
Sel surya film tipis
Pilihan yang paling diharapkan saat ini untuk dapat diproduksi secara massal dengan harga yang murah adalah sel surya yang terbuat dari film tipis (Thin film solar cells). Di antaranya ada tiga material yang sedang dikembangkan secara intensif yaitu CuInSe2 (atau paduannya seperti CuIns2 atau CuInGaSe2 ), CdTe dan silikon amorf. Dengan tingkat efisiensi sekitar 10%, sel surya film tipis ini sudah layak untuk diproduksi massal dengan harga yang dapat bersaing dengan sumber energi listrik yang lain. Untuk ketiga material di atas hanya dibutuhkan ketebalan sekitar satu mikron untuk membentuk sel surya yang efisien. Ini disebabkan karena daya serap cahayanya yang besar.
Sel surya film tipis CdTe telah dapat diproduksi dalam bentuk modul percobaan dengan efisiensi sekitar 10%. Jadi cukup layak untuk diproduksi dalam bentuk modul percobaan dengan efisiensi sekitar 10%. Jadi cukup layak untuk diproduksi secara massal. Persoalannya adalah material ini belum dapat diterima dengan baik karena mengandung unsur cadmium. Bila rumah yang atapnya dipasang sel surya CdTe terbakar, unsur cadmium ini akan menimbulkan polusi yang membahayakan.
Material CuInSe2 adalah juga diharapkan dapat digunakan secara luas. Material dengan daya absorpsi cahaya yang besar ini, secara teoritik mempunyai efisiensi 20% bahkan lebih. Dalam skala laboratorium saat ini telah dibuat efisiensi di atas 15%. Kesulitan dari material yang masih baru ini adalah sukarnya mengontrol komposisi dari ketiga unsur pembentukannya terutama saat diproduksi dalam ukuran yang besar secara massal, sehingga masih mengalami kesulitan dalam memproduksi modul dengan kualitas yang sama. Mencari proses pembuatan yang murah dan layak untuk produksi massal adalah masalah yang menjadi pusat perhatian untuk material golongan ini.
Yang terakhir adalah silikon amorf. Material ini juga dikenal sebagai bahan dasar pembuatan flat panel display untuk layar komputer atau televisi portabel. Ini dimungkinkan karena material ini bisa ditumbuhkan dalam ukuran besar dengan lebar lebih dari satu meter. Film tipis silikon amorf biasanya dibuat dengan menguraikan gas monosilane (SiH4 ) dalam plasma yang dibangkitkan oleh penguat frekuensi radio (glow discharge) pada suhu yang relatif rendah (250o C). Material ini tergolong yang paling murah di antara semua sel surya film tipis. Secara teoritik, dapat menghasilkan efisiensi sekitar 15-16%. Kelemahannya adalah adanya degrasi/penurunan efisiensi sekitar 30% dari harga awal, saat pertama kali disinari walaupun pada akhirnya menjadi stabil (efek Staebler Wronski). Panel sel surya dengan efisiensi (setelah terdegradasi) 10% sudah berhasil dibuat. Walaupun nilai efisiensi tersebut sudah masuk kategori layak produksi, usaha untuk menyempurnakan proses pembuatannya masih terus berlangsung guna menekan serendah mungkin harga jualnya.
Ada dua hal lain yang juga sering dipertanyakan orang terhadap sel surya. Yang pertama adalah polusi. Meskipun saat menggunakannya, sel surya tidak menyebabkan polusi tapi saat pembuatannya (seperti industri semikonduktor lainnya) tetap menimbulkan limbah/polusi. Yang kedua adalah adanya parameter “energy pay-back time” yang menyatakan lamanya waktu yang diperlukan oleh sel surya untuk menghasilkan energi yang sama dengan energi yang dipakai saat pembuatan sel surya itu sendiri. Terhadap dua hal di atas, sel surya film tipis silikon amorf ternyata lebih unggul dibandingkan dengan sel surya lainnya.
Sel surya di Jepang
Negara Jepang lewat proyek Sunshine-nya dimana penulis pernah ikut terlibat selama lima tahun, sangat menaruh minat pada material silikon amorf yang diharapkan dapat digunakan secara massal oleh penduduknya. Sesuai dengan fleksibilitas dari silikon amorf ini yang dapat ditumbuhkan pada substrat apa saja, saat ini sedang diteliti penumbuhan material ini di atas plastik khusus sebagai pengganti kaca sehingga menjadi lebih ringan dan murah. Sewaktu proyek Shunshine yang disponsori oleh MITI Jepang ini dimulai tahun 1974, harga sel surya adalah lebih dari 20.000 yen/watt-puncak. Dewasa ini, harganya telah mencapai sekitar 300-400 yen/watt-puncak. Diharapkan dengan usaha keras pada R&Dnya, harga 100 yen/watt akan dicapai sekitar tahun 2000. Ini berarti ekivalen dengan harga energi listrik sebesar 10-20 yen/kWh atau sekitar 10-20 sen dollar/kWh, harga yang bersaing dengan listrik yang dibangkitkan secara konvensional. Pemerintah Jepang juga sudah mengeluarkan perundangan untuk memungkinkan penjualan kelebihan listrik yang dihasilkan dari pemakai sel surya ke perusahaan listrik. Jadi buat Jepang yang memang tidak memiliki sumber enrgi fosil yang mencukupi ini, listrik tenaga surya bukanlah terbatas pada penggunaan yang khusus di daerah terpencil tapi merencanakan penggunaan secara massal untuk rumah-tinggal di kota, sekolah dan fasilitas umum lainnya mulai tahun 2000 mendatang. Untuk mendukung hal ini, mulai beberapa tahun yang lalu, pemerintah Jepang memberikan subsidi sebesar 60% dari harga jualnya buat rumah-tinggal yang ingin memasang panel sel surya dengan daya keluaran 2-3 kW. Kampanye seperti ini memang bertujuan untuk lebih memasyarakatkan penggunaan dari sel surya sehingga diharapkan dapat menurunkan harga pembuatannya karena produksi secara massal. Buat kita di Indonesia, pertimbangan penggunaan sel surya seharusnya bisa menjadi lebih layak lagi, mengingat negara kita terletak di katulistiwa yang menerima sinar matahari sepanjang tahun dan juga cukup tersedia lahan untuk menempatkan panel sel surya bila tidak ingin diletakkan di atap rumah.
Pemilihan material yang tepat untuk produksi sel surya bukanlah suatu harga mati. Ini dikarenakan adanya karakteristik yang berbeda-beda dari sel surya tersebut. Jadi seperti saat ini ada berbagai jenis bahan bakar untuk kendaraan bermotor seperti premium, solar dan sebagainya, sel surya pun nantinya akan menawarkan bermacam-macam jenis di pasaran, bergantung pada spesifikasi kebutuhan kita masing-masing.
Di Indonesia
Untuk kita di Indonesia, walaupun memang masih ada alternatif energi yang lain, ada baiknya kita terlibat secepatnya dalam teknologi pembuatan sel surya ini. Sel surya sebagai suatu divais semikonduktor terkait erat dengan teknologi semikonduktor itu sendiri. Jadi pengembangan teknologi ini bisa dijalankan bersama-sama dengan pengembangan divais-divais semikonduktor lainnya untuk aplikasi mikroelektronika. Perbedaan besarnya adalah terletak pada dimensinya, dimana sel surya harus difabrikasi dalam ukuran sebesar mungkin sedangkan divais mikroelektronika menuju ke arah pengecilan. Jadi penguasaan teknologi ini akan dengan sendirinya memudahkan penguasaan teknologi semikonduktor lainnya. Hal ini sejalan dengan usaha pengembangan industri elektronika di Indonesia.
Secara umum, penggunaan panel photovoltaik oleh pemerintah dikoordinir oleh BPP Teknologi. Beberapa tempat yang diketahui penulis sedang melakukan aktivitas pembuatan sel surya ini di Indonesia adalah di Puspitek Serpong, LEN dan ITB. Usaha seperti ini diharapkan bisa menjadi embrio bagi industri sel surya dalam negeri atau bahkan industri semikonduktor. Partisipasi seperti ini sangat strategis, selagi teknologi ini belum jenuh dan masih dalam tahap mencari bentuk yang optimal. Kalau hal ini tidak dilakukan sekarang, dikawatirkan kita bisa menjadi pengimpor sel surya terbesar dikemudian hari, seperti pengalaman kita untuk bidang teknologi tinggi lainnya.
Wilson Walery Wenas, Ph.D adalah Peneliti di Laboratorium Semikonduktor, Fisika-ITB